Tuesday 5 January 2016

BUTUH BEKAL KE KAMPUNG AKHIRAT



BBG ASSUNNAH

Kita semua butuh bekal, bukan bertujuan bersaing di dunia. Bekal ini lebih kita butuh untuk menuju alam akhirat.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang pundaknya, lalu berkata,
كُنْ فِى الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ
Hiduplah kalian di dunia seakan-akan seperti orang asing, atau seperti seorang pengembara.
Ibnu ‘Umar lantas berkata,
إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Jika engkau berada di petang hari, janganlah tunggu sampai datang pagi. Jika engkau berada di pagi hari, janganlah tunggu sampai datang petang. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Manfaatkanlah pula waktu hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari, no. 6416)
Hadits di atas mengajarkan bahwa dunia ini bukanlah tempat kita menetap dan bukanlah negeri kita sesungguhnya. Dari sini seharusnya setiap mukmin berada pada salah satu dari dua keadaan berikut.

Pertama:

Hidup seperti orang asing yang tinggal di negeri asing. Yang ia lakukan:
  1. Hatinya tidak bergantung pada dunia. Hatinya bergantung pada kampung sesungguhnya yang nanti ia akan kembali, yaitu negeri akhirat.
  2. Mukim di dunia hanya untuk menyiapkan bekal menuju ke kampung akhirat.
  3. Tidak pernah bersaing yaitu antara orang asing tadi dan penduduk asli (penggila dunia).
  4. Tidak pernah gelisah ketika ada yang mendapatkan dunia. Itulah orang asing.
Al-Hasan Al-Bashri berkata,
المؤْمِنُ فِي الدُّنْيَا كَالغَرِيْبِ لاَ يَجْزَع مِنْ ذُلِّهَا ، وَلاَ يُنَافِسُ فِي عِزِّهَا ، لَهُ شَأْنٌ ، وَلِلنَّاسِ شَأْنٌ
“Seorang mukmin di dunia seperti orang asing. Tidak pernah gelisah terhadap orang yang mendapatkan dunia, tidak pernah saling berlomba dengan penggila dunia. Penggila dunia memiliki urusan sendiri, orang asing yang ingin kembali ke kampung akhirat punya urusan sendiri.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 379)
‘Atho’ As-Salimi berkata dalam doanya,
اللهمَّ ارْحَمْ فِي الدُّنْيَا غُرْبَتِي ، وَارْحَمْ فِي القَبْرِ وَحْشَتِي ، وَارْحَمْ مَوْقِفِي غَداً بَيْنَ يَدَيْكَ
“Ya Allah, rahmatilah keasinganku di dunia, selamatkanlah dari kesedihan di kuburku, rahmatilah aku ketika aku berdiri di hadapan-Mu kelak.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 379)
Orang yang tergila dengan dunia, lupa akan akhirat, gambarannya seperti yang disampaikan oleh Yahya bin Mu’adz Ar-Razi,
الدُّنْيَا خَمْرُ الشَّيْطَان ، مَنْ سَكِرَ مِنْهَا لَمْ يُفِقْ إِلاَّ فِي عَسْكَرِ الموْتَى نَادِماً مَعَ الخَاسِرِيْنَ
“Dunia adalah khamarnya setan. Siapa yang mabuk, barulah tersadarkan diri ketika kematian (yang gelap) itu datang. Nantinya ia akan menyesal bersama dengan orang-orang yang merugi.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 381)

Kedua:

Hidup seperti seorang musafir atau pengembara yang tidak punya niatan untuk menetap sama sekali. Orang seperti hanya ingin terus menelusuri jalan hingga sampai pada ujung akhirnya, yaitu kematian. Yang ia lakukan:
  1. Terus mencari bekal untuk safarnya supaya bisa sampai di ujung perjalanan.
  2. Tidak punya keinginan untuk memperbanyak kesenangan dunia karena ingin sibuk terus menambah bekal.
Cobalah ambil pelajaran dari perkataan Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Beliau pernah mengatakan pada seseorang,
كَمْ أَتَتْ عَلَيْكَ ؟
“Berapa umur yang telah kau lewati?”
Ia menjawab,
سِتُّوْنَ سَنَةً
“Enam puluh tahun.”
Fudhail menyatakan,
فَأَنْتَ مُنْذُ سِتِّيْنَ سَنَةً تَسِيْرُ إِلَى رَبِّكَ يُوشِكُ أَنْ تَبلُغَ
“Selama 60 tahun ini engkau sedang berjalan menuju Rabbmu dan sebentar lagi engkau akan sampai.”
Orang itu menjawab,
إِنّا للهِ وَإنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ
“Segala sesuatu milik Allah dan akan kembali pada Allah.”
Fudhail balik bertanya,
أَتَعْرِفُ تَفْسِيْرَهُ
“Apa engkau tahu arti kalimat yang engkau ucapkan tersebut?”
Fudhail lantas melanjutkan, harusnya engkau katakan pula,
أَنَا للهِ عَبْدٌ وَإِلَيْهِ رَاجِعٌ ، فَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ للهِ عَبْدٌ ، وَأَنَّهُ إِلَيْهِ رَاجِعٌ ، فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ مَوْقُوْفٌ ، وَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ مَوْقُوْفٌ ، فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ مَسْؤُوْلٌ ، وَمَنْ عَلِمَ أَنَّهُ مَسْؤُوْلٌ ، فَلْيُعِدَّ لِلسُّؤَالِ جَوَاباً
“Sesungguhnya aku adalah hamba di sisi Allah dan akan kembali pada-Nya. Siapa saja yang mengetahui Allah itu memiliki hamba dan akan kembali pada-Nya, maka tentu ia tahu bahwa hidupnya akan berakhir. Kalau tahu hidupnya akan berakhir, tentu ia tahu bahwa ia akan ditanya. Kalau ia tahu akan ditanya, maka ia tentu akan mempersiapkan jawaban dari pertanyaan yang ada. ”
Orang itu bertanya pada Fudhail,
فَمَا الحِيْلَةُ ؟
“Adakah alasan yang bisa dibuat-buat untuk melepaskan diri?”
Fudhail menjawab,
يَسِيْرَةٌ
“Itu mudah.”
Ia balik bertanya,
مَا هِيَ ؟
“Apa itu?”
Fudhail menjawab,
تُحْسِنُ فِيْمَا بَقِيَ يُغْفَرُ لَكَ مَا مَضَى فَإِنّكَ إِنْ أَسَأْتَ فِيْمَا بَقِيَ ، أُخِذْتَ بِمَا مَضَى وَبِمَا بَقِيَ
“Hendaklah beramal baik di sisa umur yang ada, maka akan diampuni kesalah-kesalahanmu yang terdahulu. Karena jika engkau masih berbuat jelek di sisa umurmu, engkau akan disiksa karena kesalahanmu yang dulu dan sisa umurmu yang ada.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 383)

Nasihat Ibnu ‘Umar: Jangan Panjang Angan-Angan

Adapun wasiat dari Ibnu ‘Umar diambil dari hadits, yang berisi nasihat supaya kita tidak berpanjang angan-angan. Jika kita berada di petang hari, maka janganlah menunggu sampai pagi hari. Jika kita berada di pagi hari, maka janganlah menunggu sampai petang hari. Bahkan kita harus merasa bahwa bisa jadi ajal (kematian) menjemput kita sebelum itu.
Kita dapat ambil pelajaran dari apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad tentang maksud zuhud,
أيُّ شيءٍ الزُّهد في الدنيا ؟ قال : قِصَرُ الأمل ، من إذا أصبحَ ، قال : لا أُمسي ، قال : وهكذا قال سفيان. قيل لأبي عبد الله : بأيِّ شيء نستعين على قِصَرِ الأمل ؟ قال : ما ندري إنَّما هو توفيق
“Bagaimana cara zuhud terhadap dunia?” Jawab Imam Ahmad, “Tidak berpanjang angan-angan. Ketika berada di pagi hari, maka ia tidak berkata, “Ahh … Tunggu sore saja.”
Sufyan juga pernah bertanya pada Imam Ahmad, “Bagaimana agar kita tidak panjang angan-angan?” Jawab beliau, “Bisa seperti hanya taufik dari Allah.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 384)

Moga kita tidak jadi seperti yang mengatakan …
رَبِّ ارْجِعُونِ  لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ
“(Ketika datang kematian pada seseorang, lalu ia berkata): Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.” (QS. Al Mu’minuun: 99-100).
Ya Allah … Mudahkanlah kami untuk mempersiapkan bekal amalan shalih untuk menuju kampung akhirat. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:

Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Tahqiq: Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Yajis. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
Naskah Khutbah Jumat Masjid Klampok Purwosari, Jum’at Legi, 6 Rabi’ul Awwal 1437 H
Disusun menjelang jumatan di Darush Sholihin, 6 Rabi’ul Awwal 1437 H
Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

0 comments:

Post a Comment